Selasa, 10 Januari 2012

Door to Door Berau - Tanjung Selor


Mengakhiri perjalanan 2011 dengan berpetualang yang membutuhkan adrenalin tingkat tinggi. Teringat tahun 2010 lalu dimana aku harus mengakhiri perjalanan travellingku tahun itu bersama Maharani yang masih berusia 1 tahun 10 bulan mengarungi selat Kabaena menuju Pulau Bau-Bau (salah satu kepulauan Butan) yang berada di Tenggaranya Sulawesi.

Rempong sih pastinya hehe tapi itu kepuasan terbesar buatku ketika aku bisa bersama Maharani lontang lantung di pulau orang. Di sebuah kepulauan yang aku sendiri tidak mengerti kenapa pulau Bau-bau pilihan terakhirku untuk memaksakan diri terdampar sendiri disana.

Edisi tahun 2010, sudah pernah kutulis dalam perjalanan travelingku sebelumnya. Dan dari Pulau Bau-bau akhirnya yang membuatku mendamparkan diri di Pulau Wangi-Wangi yang merupakan salah satu bagian dari Pulau Wakatobi (Wangi wangi, Kaladupa, Tomia, Binongko) di awal tahun 2011 selama 3 hari.

Ya setidaknya, aku bersyukur diberi kesempatan menikmati keindahan alam Indonesia ini dengan segala caraku yang serba nekad.

Untuk akhir tahun 2011, aku menerima tawaran jalan bareng dari salah satu customerku di Berau yang mengajakku mengunjungi Pulau Maratua.

Perjalanan kami di mulai dari Berau. Kota kabupaten yang berada di ujungnya Borneo yang kebetulan aku sedang ditugaskan perusahaan tempatku bekerja selama 5 bulan ini. Pastinya kesempatan untuk explore ke daerah-daerah yang belum pernah ku kunjungi dalam hidup tidak kusia-siakan.

Sehari sebelum berangkat ke Pulau Maratua, aku sempat singgah terlebih dahulu ke daerah Tanjung Selor yang merupakan kabupaten baru untuk mengantarkan barang milik perusahaan tambang. Untuk ke Tanjung Selor butuh 2.5 jam perjalanan darat dari Berau, Tanjung Redeb melewati hutan yang serba ngga jelas hhihi. Kenapa kusebut ngga jelas..ya karena itu hutan emang ngga jelas..kalau disebut hutan tapi pohon-pohonnya kenapa ngga banyak yang besar-besar..yah malah lebih seringnya kulihat perkebunan kelapa sawit yang ramai disini.

Lanjut ke perjalanan menuju Tanjung Selor, aku bersama driver kantor menikmati perjalanan dengan menyetel music keras-keras. Hihihi ya maklum kami berangkat dari Berau pukul 18.00 wita. Jadi biar tidak mengantuk, setel music deh keras-keras.

Pukul 20.30 wita, kami pun tiba di Tanjung Selor. Aku sudah membuat janji terlebih dahulu dengan salah satu staff perusahaan tambang untuk serah terima barangnya di persimpangan menuju Malinau. Jadi terpaksa deh dengan berselimutkan malam nan gelap pekat, aku menanti client di simpang Tg Selor – Malinau. Untungnya aku bawa driver yang sabarnya tingkat kabupaten. Ia tidak banyak protes ketika aku bilang kita menunggu 1 jam lagi buat serah terima barang. Dan ia pun hanya mengangguk menuruti perintahku.
Pukul 21.30 Wita, clientku datang dan proses serah terima kami lakukan disimpang Malinau. Selang serah terima akhirnya kuputuskan untuk kembali ke Berau malam itu juga. Namun sebelum aku kembali ke Berau, ternyata driverku bilang akan singgah terlebih dahulu kerumah temannya yang berada di Tanjung Selor juga.

Sebelum singgah, aku sempat mampir membeli 6 buah durian hutan di pasar yang berada dekat tepian. Dan memakan 1 buahnya bersama supirku.

Ya akhirnya aku mengiyakan keinginannya untuk singgah. Secara aku kan Cuma navigator, jadi Cuma ngikut aja apa kata si supir yaks.

Mobil yang kami kendarai membelah jalan Tanjung Selor. Saat itu sudah sepi dan melengang sekali. Ya maklum juga karena kabupaten. Driverku mengemudikan kendaraan menuju daerah SP 3 yang merupakan daerah transmigrasi. Agak ketar ketir juga sih ketika melewati daerah tersebut. Secara aku baru teringat berita 2 minggu lalu tentang kabupaten ini.

Ada issue yang berkembang ketika itu, Tanjung Selor rusuh etnis. Dan sempat driverku yang lain yang akan masuk ke wilayah tersebut pada 2 minggu lalu dilarang melintas. Pada KM 2, sudah di blokir oleh anggota Brimob yang berjaga-jaga di perbatasan Tanjung Selor-Berau.

Nah saat melintas perkampungan SP 3 itu mobil yang ku kendarai melewati perkampungan suku dayak yang merupakan prosentase penduduk terbesar di Kabupaten ini. Apalagi saat itu sedang ada kebaktian di salah satu gereja yang kami lewati.

Kusuruh supirku untuk mengecilkan volume musiknya, agar tidak mengganggu suasana kebaktian mereka. Dan aku pun memasang senyum manisku dan menganggukan kepalaku sambil berkata, “ permisi ya pak…permisi…”

Dan mereka pun membalas dengan senyuman sumringah,” silakan bu”

Ah, senangnya di jawab dengan senyum bapak-bapak yang sedang berjaga di depan gereja itu.

Rumah yang dimaksud driverku lumayan jauh juga dari Tanjung Selor. ¾ jam kami baru sampai dirumah yang dimaksud driverku. Temannya ini rupanya merupakan suku jawa yang bertransmigrasi sejak 15 tahun lalu.

Akhirnya kami pun bercerita panjang lebar, dan aku orang yang memang sedikit agak bawel banyak bertanya ini dan itu. Tentang perjuangan orangtua dari teman driverku ini..yang nekad menjadi transmigran. Benar-benar butuh perjuangan hebat untuk mereka mengisi kehidupan yang jauh dari sanak keluarga. Tapi tetap bisa menapak kehidupan ini dengan lebih baik.

Tidak lama aku dan supirku berada dirumah temannya ini, karena malam sudah melarut. Pukul 22.30 Wita kami pun pamit untuk kembali ke Berau. Sempat ditawarkan untuk menginap namun ku tepis halus karena ku bilang aku sudah punya jadwal di esok hari.

Dan saat aku pamitan dan mengucapkan banyak terimakasih atas sambutannya, keluarga suku jawa ini pun meng-oleh-olehkan aku 1 karung rambutan binjai hasil dari kebunnya yang 2 hektar di belakang rumahnya.

Busyet dah, mabok rambutan dah aykeh, pikirku. Dan jambu biji merah Bangkok 10 butir.

“Mba…mampir ya kerumah kalau ke Tanjung Selor lagi…dan harus menginap dirumah kami lho” seru pemilik rumah.

Duh senangnya ditawarin seperti itu. Siapa sih yang tidak pingin ya..gratis gitu bo..hehehe…

Aku menganggukkan takzim dan melemparkan senyum lebar. Aku dan supirku akhirnya kembali melintas jalan nan sepi di area SP 3.

Kami sempat nyasar ketika akan keluar dari SP 3. Bagaimana tidak nyasar, kami sampai seperti berputar-putar melewati labirin yang tidak jelas. Sempat aku senewen sama supirku dan ngotot bahwa kalau jalan yang kita lalui ini sudah yang ketiga kalinya.

Entah kenapa malam itu untuk keluar dari SP 3, kami seperti tersesat arah. Apalagi dimana-mana banyak anjing berkeliaran di jalan. Wah kalau sudah begitu, aku sering mengingatkan supirku agar lebih berhati-hati.

“kita ini berada di perkampungan suku Dayak, Nang..lambatkan kendaraan jangan sampai pakai acara nabrak anjing yo.. ngeri kita urusannya,” selalu kalimat yang sama aku sampaikan ke driverku yang bernama Anang ketika melihat anjing melintas di depan kendaraan kami.

“Iya bu..iya..tenang aja…ibu kan sedang bersama driver smart,” jawabnya.

“smart apaan Nang,..kita ini dah puter-puter aja dari tadi belum ketemu jalan raya. Ini Gereja sudah kita lewati 2 x…waduh jangan sampai dah bermalam di sini…” sahutku.

Supirku juga bolak balik terheran-heran. Kusuruh dia memutar kembali kearah SP 3 dan merunut kembali arah dari rumah temannya menuju jalan raya. Setelah ada 1 jam jam puter-puter daerah situ, ngga tahu gimana akhirnya kami bisa keluar juga dari perkampungan tersebut.

Aku menarik nafas lega, tidak terbayang olehku semisalnya itu kendaraan habis bbmnya dan harus menunggu pagi di perkampungan tersebut. Bisa mati gaya akyuw…hehehe..

Begitu keluar dari SP 3 dan ketemu jalan raya yang ke arah Berau sudah menunjukkan pukul 23.30 wita. Gilingan bo, jelang dini hari baru keluar dari Tanjung Selor. Dan jangan bayangkan perjalanan menuju Berau itu asik. Boro-boro asik dah. Spooky mah iya. Secara selama diperjalanan Cuma lampu kendaraan kami saja yang menyala. Tidak ada lampu penerangan di sisi kiri kanan jalan. Dan aku pun sibuk komat kamit dijalan. Serta beberapa kali ku ingatkan supirku agar berhati-hati dan waspada jika melihat “sesuatu”.

Di perjalanan, perutku kontraksi. Persis seperti rasa mau melahirkan. Aku teringat jadwal palang merahku. Waduh..ternyata hari ini memang jelang pmsku. Keringat dingin pun mengalir deras dari keningku. Aku lupa tidak membawa persediaan obatku. 1 jam aku didera rasa sakit yang hebat.

“bu…kok jadi diem..?”tanya supirku
“sakit perut neh…ngga tau kenapa,” jawabku sekenanya.

“wah bu…kok bisa..tadi ibu ngga papa..atau ibu lapar kali ya?” tanyanya lagi

“aku mabok durian…”sahutku asal. “udah deh jangan cerewet ya..aku lagi menikmati sakitnya dulu…kamu jangan tanya ini dan itu”

“ya udah ibu tidur aja …”
“ah kamu ini, nanti kalau saya tidur kamu malah bawa mobil kek kesetanan..”

“ya ngga toh bu. Saya pasti hati-hati kok”

Aku diam saja mendengar jawaban supirku. Aku tetap berusaha tidak tidur. Dan kucoba menikmati sakit kontraksi ini sambil meringis-ringis. Penyakit yang satu ini kerap menyerangku setiap bulan menjelang PMS (Pre Menstruation syndrome). Kadang sakitnya bikin lemas dari kepala sampai kaki. Tapi sering kupaksakan untuk melanjutkan aktivitas pekerjaanku.

Biasanya kalau sedang sakit bulanan, aku meminum mefinalku (antibiotic) pereda sakit saja. Aku malas untuk check up kesehatanku. Yah kupikir semua wanita di dunia ini sama saja kalau menjelang pms. Pasti ada rasa sakit yang dirasa. Dinikmati saja sakitnya ini, toh Cuma sebulan sekali.

Pukul 02.00 wita, kendaraan kami akhirnya tiba di Berau dengan selamat. Dan aku meminta supirku untuk mengantarkanku pulang. Aku belum sempat mempersiapkan buat acara jalan-jalan akhir tahun. Padahal esok harinya aku harus berangkat pukul 07.00 wita ke Pulau Maratua.

Sampai dirumah, aku siapkan baju-baju yang hendak kubawa untuk jalan ke Maratua. Aku tidak suka bawa yang rempong-rempong. Cukup kamera DSLR yang harus ku ingat untuk selalu di bawa. Untuk pakaian mah gampang. Tinggal masuk-masukin aja seperlunya.

bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar