Senin, 26 April 2010

Syukurku..

Senja baru saja berlalu manakala kutinggalkan ruang kerjaku. Teringat pesan Habib yang memintaku untuk membelikan martabak manis kesukaannya. Kulangkahkan kakiku menuju Mall Jambu Dua yang memang tempat mangkalnya pedagang martabak manis. Jam di Hp aku sudah menunjukkan pukul 21.30. Hm.. Sudah menjelang larut untuk ukuran kota kecil seperti kota Bogor ini.

Tatapanku terhenti menatap sosok tua yang sedang terduduk dengan tenangnya. Disampingnya satu gerobak penuh rambutan rapia yang masih belum terjual. Mata tuanya nanar menatap sekelilingnya. Aku terenyuh melihatnya, kudekati bapak tua penjual rambutan itu.

“ Pak, rambutannya sabaraha ?” tanyaku dengan aksen sunda yang masih kaku. Lelaki tua itu bangkit Dan tersenyum padaku berharap aku membeli rambutannya.

“ murah neng…sok atuh pangabisan wae.” Jawabnya singkat.

“iya tapi berapa Pak se-ikatnya ?” tanyaku lagi

“ sepuluh ribu saja neng, buat penglaris “

Hmm.. Murah juga, sahutku dalam hati.Tanpa menawar lagi aku minta diambilkan 2 ikat besar. Dimana 1 ikatan besar Ada 3 ikatan kecilnya didalam. Sambil menatap bapak tua yang sepertinya senang melihatku membeli dagangannya timbul pertanyaan yang ingin kulontarkan padanya.

“ Bapak ko masih jualan sampai jam segini ?

“ iya neng…ini juga jualan Bapak masih belum habis ”

Kulihat masih Ada sekitar 5 ikat lagi yang masih tersisa. Kelopak Mata Bapak itu terlihat penuh kelelahan. Ah…tatapan matanya begitu mengingatkanku pada sosok almarhum bapak. Wajahnya yang tirus semakin terlihat lelah. Mengapa tidak anak atau cucu nya saja yang berjualan ? Ataukah Bapak ini hidup menyendiri ? Terbersit tanya yang menggelitikku

“ Bapak tinggal dimana ? “

“ dekat ko Neng…ngga jauh…di daerah Jalan Baru…”

Aku tertegun…sejauh itukah Bapak ini mendorong gerobak tuanya Dan beliau hanya menjawab kalau jarak tersebut dekat. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tidak membayangkan harus berjalan sekitar 4 km lebih dengan mendorong gerobak. Malam Hari pula…Ah, aku teringat ucapan dari seorang kawan. Kebiasaan orang sunda terutama Bogor, seringkali apabila ditanya mengenai jarak akan dijawab dekat. Padahal jaraknya itu ber kilo kilometer jauhnya.

“ Pak, punya anak berapa ? Bapak ngga ditemani anak Bapak jualannya ? Biasanya sampai jam berapa jualan seperti ini ? ” kuajukan beberapa pertanyaan padanya. Bapak itu hanya tersenyum

“ anak saya banyak,Neng, 6 orang. Yang baru menikah 2 orang. Tapi mereka juga hidupnya susah seperti Bapak. Yah, Bapak Cuma bisa jualan seperti ini. Lumayan neng buat makan. Kalau ditanya jam, ya paling cepat jam 12 nanti, neng. Kalau pagi saya berjualan bubur ayam di dekat rumah Dan sore jualan buah-buahan seperti ini “

Lagi-lagi aku seperti tertampar atas jawaban Bapak penjual rambutan itu. Duh gusti, begitu susahnya kah kehidupan ini bagi orang kecil seperti Bapak ini. Hingga ia harus bekerja Banting tulang demi menafkahi keluarganya. Sementara diluar sana kulihat banyak kemewahan Dan kemegahan dari orang-orang yang lalai dari syukur-Nya.

Tenggorokanku tercekat,

“ Maafkan saya ya Pak, saya jadi banyak tanya tentang Bapak.”

“ Ngga papa neng…oh ya ini, rambutannya “ di angsurkannya rambutan rapia yang sudah dimasukkan di dalam plastik padaku Dan kuserahkan selembar uang lima pululan.

“ terima kasihi ya Pak,semoga malam ini dagangan Bapak segera cepat laku ya biar bapak ngga pulang sampai Larut ?” Ku berikan senyum tulusku pada Bapak tua itu.

“ terima kasih neng doa nya “

Aku berjalan menjauh, Dan lagi-lagi aku harus mengucap syukur. Setidaknya dengan kehidupanku yang kujalani saat ini, aku tidak boleh lagi mengeluh meminta keadilan-Nya, meminta-Nya mengurangi bebanku...padahal sesungguhnya Ia memberiku ujian agar aku kuat menghadapi badai Dan kerikil kecil hidupku...Thanks God telah mengingatkan-Ku Dan Engkau pertemukan aku dengan Pak tua itu

Palayu 12022006

19.35 wib

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya IA bersyukur untuk dirinya sendiri; Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji."(Luqman :12)

Kamis, 22 April 2010

DEKAT NAMUN JAUH

Hari ini kudapatkan keceriaan kembali kedua buah hatiku. Habib yang sudah kurang lebih 4 bulan tidak bertemu sang kakak, Sya-sya begitu antusiasnya saat kubilang akan mempertemukan dirinya dengan Sya-sya.

Selesai mandi sore, ia bolak balik memandang cermin dan mengganti pakaian yang hendak di kenakannya menemui kakaknya. Rupanya jagoan kecilku ingin terlihat keren di hadapan sang kakak.

" Ma, pakai yang ini keren, ga ?" tanyanya saat ia sedang mencoba mengenakan kemeja kesayangannya.

Aku tersenyum mengganggukkan kepala. Ah,..putra bungsuku sudah mulai memikirkan penampilan, pikirku. Usianya belum genap 10 tahun namun ia sepertinya ingin terlihat sempurna.

" Sayang,..pakai apapun Abie tetap keren ko " pujiku sambil mengusap kepalanya dengan lembut.

" Ma, kenapa sih Kak Sya-sya tidak tinggal bersama kita saja " tanyanya tiba-tiba.

Hm.. pertanyaan yang sama yang pernah diajukan Abie padaku, desahku. Sulit buatku menjelaskan dan menjawab pertanyaannya secara logika kanak-kanak padanya.

Keputusan dari Pengadilan Agama tahun lalu telah final memutuskan pengasuhan Sya-sya ada pada Mas Yan. Ingin rasanya menggugat balik atas ketidak adilan yang terjadi di kehidupan. 7 tahun lamanya statusku di gantung olehnya. Sehingga saat awal tahun 2007 lalu aku memasukkan gugatan yang ada bahkan ia meminta hak asuhnya Sya-sya ada padanya. Selama 7 tahun aku memendam kerinduan yang teramat sangat pada si sulung. Tersakiti, terdholimi membuatku pernah terpuruk dan tidak sanggup membawa Sya-sya dalam pelukanku. Aku hanya bisa pasrah membawa nasibku.

Diingatkan keberadaan Sya-sya yang tidak bersamaku, membuat hatiku bertambah miris. Mengapa selalu dan selalu Mas Yan bersikap sangat egois mempertahankan Sya-sya bersamanya. Ia beranggapan aku tidak mampu mengasuh kedua buah hatiku. Adilkah ini untukku ?